“Ketidak-beruntungan bisa jadi hanyalah prasangka kita sebagai manusia. Saat kita bisa ambil hikmahnya dan yakin akan kehendak terbaik Sang Maha Kuasa, maka ketidak-keberuntungan itu bisa menjadi sebuah berkah”
Quote tersebut rasanya sangatlah pas hari ini. Di tengah semangat ingin bersilaturrahim dengan orang tua di Banyuwangi –berangkat dari Bogor jam 04.00- ternyata pesawat Surabaya-Banyuwangi baru berangkat jam 15.55. Alhasil, penulis yang ‘terdampar’ lebih dari 7 jam di Bandara Juanda akibat operational delay sebuah maskapai penerbangan plat merah ini akhirnya bisa memulai menulis kembali setelah hampir 1,5 tahun tak pernah menulis.
Tulisan ini akan sedikit fokus pada bagaimana sikap kita terhadap kawasan perkotaan yang begitu rapat dan kurang tertata baik. Sambil ditemani cappucino yang berganti espresso dan terakhir kopi hitam gayo, mudah-mudahan ide ini bisa menjadi lebih sempurna di eksekusi oleh para pemangku kebijakan di kota-kota besar, tak terkecuali Kota Bogor.
Surabaya dan Bogor Kota. Hmmm, entah suatu kebetulan atau tidak, hari ini penulis merasakan kehangatan dua kota yang begitu monumental dalam sejarah pribadi penulis. Medio 2015 lalu, penulis sempat menuliskan artikel tentang “Antara Kota Bogor dan Surabaya” Jika Kota Surabaya yang jauh lebih besar dan kompleks permasalahannya saja bisa sedikit demi sedikit bisa diperbaiki oleh tangan dingin Walikota Risma, maka Kota Bogor pun juga bisa melakukan hal yang sama. Bahkan bisa lebih jika serius.
Paradoks Pembangunan Kota
Sebagai warga Kota Bogor, Anda dan kita semua rasanya sudah tak terhitung berapa banyak menyapa kawasan padat penduduk di Kota Bogor. Kawasan yang seringkali dilihat sebagai angin lalu saja dan bisa jadi semakin kumuh dari hari ke hari.
Geliat pembangunan lokasi-lokasi strategis seperti Tugu Kujang, Kebun Raya, Lapangan Sempur, dan taman-taman indah di berbagai tempat di Kota Bogor nampak kontras dengan tiadanya pembangunan di kawasan padat penduduk ini. Padahal, lokasinya tak jauh dan berbilang ratusan meter. Kawasan itu ada di Babakan Pasar, Paledang, Panaragan, Kebon Kalapa, dan Sempur. Semuanya ada di jantung Kota Bogor.
Di sisi lain, pembangunan beton yang melibatkan pemilik kapital besar (konglomerat) juga semakin mengangkangi wilayah-wilayah dari ujung timur sampai ujung barat dan tiap jengkal Kota. Bangunan mall, pertokoan, dan perumahan mewah bisa dilihat di sepanjang aliran DAS dan juga tiap lokasi strategis.Lihat https://atangtrisnanto.com/2024/09/22/merancang-bencana-kota-bogor/
Lantas, pembangunan yang dilaksanakan selama ini kira-kira ditujukan untuk siapa? Siapa yang merasakan manfaatnya? Semoga yang terjadi adalah ketidakmampuan penulis dalam menangkap tujuan mulia pembangunan-pembangunan tersebut.
Pembangunan atau Penertiban?
Jika melihat betapa rapatnya kawasan permukiman ditengah Kota Bogor dan di wilayah areal konservasi, yang menjadi pertanyaan dan sulit dijawab oleh para pengambil kebijakan adalah bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. Apakah pilihannya dengan penggusuran seperti yang dilakukan oleh DKI Jakarta dalam dua tahun terakhir atau membiarkan saja apa adanya, atau ada pilihan baik yang lain? Pilihan yang dilematis memang.
Melihat kompleksitas masalah sosial, politik, dan kultural yang ada, pilihan penggusuran bukanlah pilihan yang bijak. Selain melakukan moratorium perijinan pembangunan gedung baru (mall, pertokoan, dll) di wilayah konservasi, masih ada ruang lain yang bisa diambil dan menjadi win-win bagi semua. Ruang tersebut adalah menata wilayah eksisting (kawasan perumahan rapat penduduk) menjadi lebih ekologis dan bernilai strategis. Jadikan kampung rapat penduduk itu sebagai Kampung Wisata Kota Bogor.
Kampung Wisata Kota Bogor : Mimpi atau Realita?
Masalah kumuhnya kawasan urban jangan dipandang sebagai ketidakberuntungan. Kompleksnya masalah kampung perkotaan tidak boleh dihindari, sebaliknya harus dihadapi. Dari ketidakberuntungan menjadi hikmah. Untuk itu, perlu tekad kuat menjadikan kampung urban sebagai kawasan yang lebih bernilai.
Kampung Wisata Kota Bogor akan menjadi ikon yang sangat positif. Dan penulis yakin, efek positifnya akan jauh lebih besar dibanding pembangunan taman-taman dan Lawang Salapan. Bagaimana cara membangunnya?
Pertama, kumpulkan ahli tata kota dan desain tempat tinggal untuk mengkonsep masing-masing perkampungan dengan pendekatan nilai yang berbeda. Ada yang berbentuk Kampung Wisata Sehat, Kampung Wisata Religi, Kampung Wisata Sosial, Kampung Wisata Kuliner, dan lain-lain.
Kedua, keruk pendangkalan sungai. Hasil lumpurnya bisa dibuat media bibit tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat sekitar. Bibitnya ditanam di lahan-lahan yang kosong dan strategis. Buatlah taman kampung, yang bisa di inspirasi oleh Taman Kota. Sehingga, rakyat kebanyakan bisa langsung merasakan keberadaan taman yang ada di sekitar mereka.
Ketiga, perbaiki bangunan fisik seperti tanggul dan jembatan sungai. Sediakan banyak MCK umum yang bersih dan indah. Perbaiki dan perbagus sarana-sarana ibadah seperti masjid atau musholla agar wisatawan tak lupa untuk menunaikan kewajibannya. Dan tak lupa, desain warna kampung dengan cat-cat ikonik dan inovatif seperti halnya Kampung Blimbing di Malang.
Keempat, galakkan hidup sehat dengan konsep hidup bersih dan pengelolaan sampah terpadu. Sudah cukup banyak kisah sukses di Kota Bogor. Dan Pemerintah pun juga turut andil dalam kesuksesan itu. Saatnya untuk mengulang kisah sukses itu di Kampung Wisata Kota Bogor.
Kelima, galakkan industri inovatif rumah tangga baik yang berbasis kuliner, kerajinan tangan, maupun komunitas. Hal ini nantinya akan menjadi penyangga wisata tour dari Kampung Wisata tersebut. Multiplier effectnya adalah peningkatan ekonomi masyarakat. Harus rubah persepsi bahwa warga Bogor hanya menikmati kemacetan saja saat wisatawan masuk Bogor, menjadi turut menikmati kue geliat wisatanya.
Keenam, buat paket wisata yang di endorse oleh Pemerintah Kota sebagai paket wisata tour Kampung Wisata Kota Bogor. Berwisata sambil menjaga kebugaran, menjaga kepekaan sosial, dan membangun kebersamaan.
Meskipun tidak terlalu teknis dan detail, ide ini cukup menjadi pijakan awal. Detail itu ada pada teknokrat. Sedangkan bagi pemimpin, yang mahal adalah ide besarnya. Dengan semangat kesetaraan dan kebersamaan, penulis yakin seluruh komponen pemangku kebijakan akan membuat Kota Bogor semakin keren.
Kalaupun tak ada yang mau melakukan saat ini, semoga Allah berikan pemimpin masa depan dengan pemimpin yang mampu mewujudkan ide-ide keren. Karena, pemimpin keren adalah pemimpin yang dapat menghadirkan kebahagiaan bagi banyak orang. Andakah itu? Waktu yang akan menjawabnya…dengan seijin Allah SWT tentunya….
Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023