Membuat perbandingan antara satu daerah dengan daerah yang lain ternyata merupakan sesuatu hal yang menarik. Terutama, jika perbandingan itu kemudian menyebutkan tentang kelemahan satu daerah dibanding dengan daerah yang lainnya. Buktinya? Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok, sampai sewot kepada Risma saat kota yang dipimpinnya dibandingkan dengan Surabaya dalam hal penanganan bekas galian dan penerapan e-government.

Saat itu, Risma mendapat undangan CSIS untuk memaparkan keberhasilan sistem e-government Pemkot Surabaya. Selain mempertanyakan kemampuan DKI Jakarta yang kaya tapi masih rendah dalam pelayanan melalui e-government, Walikota Surabaya ini juga menyinggung tentang lambannya penanganan bekas galian di jalan yang dilewatinya. ” Itu kalau di Surabaya masyarakatnya sudah pasti cerewet dan lapor ke saya, dan saat itu juga langsung diselesaikan” sindir Risma.

Ahok kontan tidak terima dengan pernyataan koleganya itu. “Surabaya itu kasarnya cuma Jakarta Pusat atau Jakarta Selatan doang. Kami (DKI) itu setaranya dengan Provinsi Jawa Timur yang urusannya sama, kalau cuma Kota Surabaya satu mah, ya sama kayak satu Kota Jakarta Pusat,” kata Basuki.

Apple to Apple

Dalam membuat sebuah perbandingan, ada prasyarat umum yang dikenal dengan istilah apple to apple.  Artinya, perbandingan yang dibuat harus sebangun antara yang satu dengan yang lainnya. Kalau ingin membandingkan buah apel yang satu, juga harus dibandingkan dengan buah apel lainnya, bukan dengan buah jambu biji misalnya. Atau dengan kata lain, obyek atau fungsi yang dibandingkan memiliki konsep bangun ruang yang sama.

Jika yang dibandingkan adalah level pemerintahan, maka lebih tepat membandingkan antara satu Pemkot dengan Pemkot yang lainnya. Jika yang dibandingkan adalah luasan wilayah, maka kurang tepat jika membandingkan Indonesia dengan Brunei misalnya. Atau meskipun sama selevel Pemprov, agak kurang tepat membandingkan Pemprov Jawa Barat atau Pemprov Jawa Timur dengan DKI Jakarta dalam hal kewenangan Gubernur. Kenapa? Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Jawa Timur sifatnya hanya koordinatif dengan Pemkab/Pemkot. Sedangkan Gubernur DKI, sifatnya instruktif karena sifat khusus yang melekat pada Jakarta.

Menjadi menarik melihat kasus Risma vs Ahok dalam konteks diatas. Kalau dilihat dari sisi luasan wilayah dan besarnya permasalahan, menjadi kurang tepat membandingkan Pemprov DKI Jakarta dengan Pemkot Surabaya. Namun, jika membandingkan secara wewenang dalam hal pelayanan dan kecepatan penanganan, hal itu menjadi make sense (masuk akal) karena besarnya wewenang kedua kepala daerah tersebut terhadap birokrasi dibawahnya sama. Namun, semuanya kembali lagi kepada masing-masing orang tentang bagaimana cara pandangnya terhadap dua obyek yang diperbandingkan. Bisa jadi, satu orang sudah menganggap apple to apple, sementara yang lain menganggapnya belum.

Antara Bogor dan Surabaya

Dalam konteks Bogor dan Surabaya, penulis juga bisa jadi berbeda pandangan dengan pembaca budiman. Ada yang sepakat dengan penulis bahwa perbandingannya sudah apple to apple, tapi bisa juga ada yang berpandangan berbeda. Namun, tanpa mengurangi rasa obyektivitas dalam memaknai perbandingan tersebut, penulis berharap ada hikmah dan inspirasi yang bisa didapat oleh Kota Bogor terhadap beberapa kelebihan dan kemajuan yang telah dicapai Kota Surabaya. Itu saja poinnya… tidak lebih… tidak kurang.

Secara administrasi pemerintahan, Kota Bogor dan Surabaya memiliki kesamaan, dipimpin oleh walikota dalam satu unit pemerintah kota. Kewenangan walikota antar dua daerah ini pun sama. Namun, jika dilihat dari luasan wilayah, Surabaya jauh lebih besar dibanding Bogor. Bogor memiliki luas wilayah 118.50 km2 sedangkan Surabaya hampir tiga kali lipatnya, yaitu 326.81 km2. Dari tata administrasi pemerintahan, Surabaya terdiri dari 31 kecamatan dan 163 kelurahan. Bandingkan dengan Bogor yang hanya terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan.

Di sisi kultur budaya, Surabaya yang berlokasi di tepi pantai dan panas ini lebih didominasi oleh budaya terbuka dan keras warganya. Sementara, Bogor yang juga multietnis terkesan lebih tenang dan sejuk dengan Kebun Raya sebagai magnitude hijau di tengah kotanya. Surabaya, 6 tahun lalu dikenal sebagai kota yang hampir mirip dengan Jakarta. Sungai yang sangat kotor dan bau dengan air yang berwarna hitam pekat, banjir di saat musim penghujan, tata kota dan lalu lintas yang semrawut, dan satu lagi… banyaknya nyamuk dan tikus yang berukuran super jumbo.

Namun, selama lima tahun ke belakang, beberapa kesan negatif dari sebuah kota metropolis itupun mulai menghilang. Sungai yang telah mengalir walaupun airnya tidak sebening yang diharapkan dengan sistem infrastruktur yang rapi, tata kota yang cantik, taman kota dan bermain yang bagus, serta sistem pelayanan pemerintahan yang baik. Beberapa kali Surabaya terpilih menerima penghargaan baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Terakhir, Surabaya diakui dalam hal pelayanan prima terhadap masyarakat melalui e-government dan penghargaan kenaikan penerimaan daerah oleh Kemendagri akhir April 2015 ini.

Penulis, yang sempat tinggal beberapa kali di Surabaya di era 90-an dan 2000-an dan pernah berpikir bahwa Surabaya sulit untuk dirubah, ternyata mendapati fakta lain dengan berubah cantiknya kota metropolis ini. Ternyata, dengan kepemimpinan seorang wanita yang benar-benar serius membenahi kotanya dengan baik, sesuatu yang mustahil pun bisa dikerjakan. Dengan kepemimpinan yang menginspirasi dan kerja sama tim serta dukungan dari seluruh kalangan masyarakat, sebuah mission impossible berubah menjadi dream will be come true.

Bagaimana dengan Kota Bogor? Masih terlalu dini memang. Kepemimpinan walikota baru berlangsung 1 tahun. Namun, kepemimpinan 1 tahun setidaknya memungkinkan untuk melihat proyeksi lima tahun berikutnya. Harapan yang tinggi dengan terpilihnya pemimpin muda dan bergelar akademis tinggi rupanya harus mulai meluruh dalam satu tahun belakangan ini. Permasalahan kemacetan, sistem transportasi, pedagang kaki lima, kesemrawutan pasar, pembangunan di area terbuka hijau, pelayanan birokrasi, kemiskinan, dan kebersihan masih belum ada penanganan yang ekstra luar biasa.

Perubahan masih nampak pada sisi-sisi kulit dan citra, seperti adanya Rebo Nyunda, sidak perijinan bangunan yang bermasalah, sidak pasar, dan lain-lain. Memang ada perbaikan sedikit dari simbol-simbol dan taman kota, namun itu tidak signifikan. Perubahan harus dipimpin oleh pemimpin. Pemimpin harus mampu mengelola tim dibawahnya. Manajemen dan kerja sama tim yang kuat niscaya akan melahirkan kerja-kerja yang nyata dan hebat.

Selain manajemen kepemimpinan birokrasi, seorang walikota juga harus pandai mengelola hubungan dengan kekuatan politik formal maupun informal. Ini memerlukan seni tersendiri dan sulit diperoleh dalam bangku-bangku pendidikan resmi. Buatlah seni tersendiri yang mampu merajut semua kekuatan itu. Hal lain yang juga mendasar dan sangat penting adalah, menumbuhkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat. Hal tersebut tidak akan mampu diwujudkan apabila tidak ada komunikasi dan silaturrahim dengan para tokoh masyarakat ataupun dengan masyarakatnya sendiri secara langsung.

Mengatasi permasalahan-permasalahan mendasar secara teknis sudah ada langkah-langkahnya. Rasanya tidak kurang-kurang para ahli atau pakar memberikan usulan solusi. Masalah tata ruang, kemacetan, transportasi, manajemen PKL, dan lain-lain secara teknis sudah ada road map yang bisa dijalankan. Permasalahannya, seberapa besar kekuatan tim yang mampu menjadikan something impossible itu menjadi possible. Itulah seni memimpin dan mengelola berbagai tantangan dan peluang, juga kekuatan dan kelemahan.

Dengan usia yang relatif masih sangat muda, setidaknya walikota masih memiliki energi 24 jam yang lebih prima dibandingkan kepala-kepala daerah lain. Jangan sampai energi dan kesempatan yang berlebih itu, jadi kalah oleh Surabaya. Padahal, Surabaya jauh lebih panas. Mudah-mudahan Bogor ke depan tidak menjadi semakin panas….  

Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023