‘Sebuah Potret Pembangunan Kawasan Anti Lingkungan di Kota Bogor’
Alam dan seisinya merupakan karunia Allah SWT yang harus dijaga kelestariannya. Pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi lingkungan dan melebihi daya dukung alam akan menyebabkan ketidak-seimbangan lingkungan. Ketidak-seimbangan ini pada gilirannya akan berdampak negatif kepada kehidupan manusia itu sendiri. Banyak kejadian alam yang seharusnya membuka mata dan hati kita, antara lain terjadinya bencana banjir, longsor, kekeringan, kekurangan air bersih, kebakaran, kelangkaan pangan, dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan kearifan dan manajemen yang baik dan berkelanjutan agar tujuan ekonomi dapat selaras dengan aspek sosial dan ekologi.
FENOMENA BOGOR SEBAGAI WILAYAH KONSERVASI
Bogor. Sebuah kota yang sangat dirindukan oleh kebanyakan orang yang ingin mendapatkan kesejukan. Kota Hujan. Itulah sebutan yang melekat pada sebuah kota yang disebut-sebut memiliki frekuensi halilintar terbanyak dan curah hujan yang tertinggi di Indonesia. Fakta ini tidak bisa dibantah dengan munculnya fenomena eksodusme warga di luar Bogor untuk membangun rumah peristirahatan di wilayah kota hujan ini.
Bayang-bayang Bogor seperti di atas barangkali bisa ditemui di medio 80-an sampai 90-an. Namun, berharap Bogor yang nyaman, sejuk, rapi, dan teratur untuk saat ini rasanya agak sulit. Wilayah Bogor Raya yang pada awalnya merupakan wilayah yang sejuk dan begitu hijau (baca : wilayah konservasi) saat ini tidak ada bedanya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Di saat kita mendengar kekeringan dan kesulitan air di Gunung Kidul Yogyakarta, kita juga mendengar hal itu terjadi di kota hujan pada saat musim kemarau panjang.
Salah satu parameter siklus ekologi yang baik atau tidak adalah mengenai sehat tidaknya sistem DAS (daerah aliran sungai). Dua DAS yang melewati Bogor, yaitu DAS Ciliwung dan DAS Cisadane mencerminkan ada yang tidak beres dalam pengelolaan alam di Bogor. Meluapnya aliran air pada saat hujan dan menyusutnya aliran air pada saat kemarau menjadi pertanda sistem DAS yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah adanya kegiatan pembangunan fisik di areal DAS Ciliwung dan DAS Cisadane yang cenderung mengarah pada penurunan kemampuan lahan dalam peresapan air tanah. Sehingga, aliran air (run off) pada saat terjadi curah hujan tidak bisa secara maksimal diserap oleh tanah dan menimbulkan limpasan air yang tinggi. Dan yang semakin menyesakkan, hal ini diperparah dengan sikap pengambil kebijakan yang tidak tegas terhadap pengelolaan areal kanan kiri sungai. Bahkan, justru pengambil kebijakan cenderung melegalkan praktik-praktik perusakan lingkungan yang terjadi di wilayah Bogor.
FENOMENA BETON di SEMPADAN SUNGAI
Menurut UU No. 41 tentang Kehutanan disebutkan bahwa areal konservasi diantaranya terdapat pada ka-ki (kanan kiri) sungai. Menurut UU No. 12 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan, daerah konservasi di ka-ki sungai meliputi daerah 100 m di ka-ki sungai. Sehingga, apapun alasannya, pembukaan lahan di wilayah tersebut tidak diperbolehkan menurut UU. Apalagi, dengan membangunnya untuk peruntukan lain seperti bangunan ruko dan bertingkat.
Namun, sungguh apa yang terjadi di DAS Ciliwung adalah sesuatu yang sepertinya dianggap sebagai angin lalu saja. Di wilayah Kota Bogor saja misalnya, bagaimana mungkin para pengambil kebijakan yang notabene adalah lulusan perguruan tinggi, dimana pada saat masih di Sekolah Dasar diajari tentang bahaya banjir dan longsor tatkala kita menggunduli lahan, justru menjadi melegalkan betonisasi di sempadan sungai.
Jika berpedoman pada aturan di atas, sangatlah jelas bahwa perusakan lingkungan yang menyebabkan adanya bencana banjir dan kekeringan ini justru berawal dari pelaku-pelaku manusia itu sendiri. Saat ini kita melihat badan sungai dan bahkan di atas sungai pun dibangun pusat-pusat pertokoan. Berapa banyak lahan sungai yang terpakai untuk kebuasan nafsu manusia? Coba tengok !! Dari Tajur sampai dengan jalan Pajajaran, badan sungai telah termakan oleh pohon-pohon beton. Belum lagi pembangunan ruko di atas sumber air di Kampung Rambutan – Sempur Kecamatan Bogor Tengah. Lalu, dimana kepedulian kita? Dimana sensitivitas pengambil kebijakan Kota Bogor? Tidakkah kita sendiri yang menabung bencana itu suatu saat nanti? Tidakkah kita sendiri yang justru merencanakan bencana Tajur, bencana Sempur, dan bencana-bencana lainnya terjadi di kota yang kita cintai ini?
SOLUSI KE DEPAN
Pembangunan yang bagus adalah pembangunan yang seimbang dalam pencapaian tujuan ekonomi, sosial, ekologi, maupun spiritual. Untuk itu, perencanaan program maupun manajemen pembangunan harus mampu menerjemahkan pencapaian keempat aspek tersebut secara sekaligus.
Perkembangan ilmu manajemen, ekonomi, perencanaan wilayah, dan berbagai ilmu pendukung lainnya sangat memungkinkan untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. Sehingga, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah moratorium ijin dan pembangunan bangunan fisik di wilayah konservasi dan ekologis.
Tahap berikutnya adalah mengkaji kembali rencana tata ruang dan perencanaan wilayah dan menyempurnakannya dalam satu site plan pembangunan yang komprehensif. Zonasi pembangunan seperti zona pemukiman, perbelanjaan, sarana umum, pendidikan dan lain-lain sangat penting bagi pembangunan kota ke depan. Ketiga, penerapan law enforcement berupa evaluasi proses perijinan dan pembangunan yang telah berjalan. Jika diperlukan tindakan tegas berupa merobohkan bangunan fisik yang telah ada, itu mesti dilakukan.
Terakhir, perbaikan tata kelola pemerintahan menjadi satu kebutuhan mendesak sebagai bagian dari sistem proses pembangunan. Perencanaan yang bagus, program yang bagus, dan pelaksanaan pembangunan sangat tergantung pula pada baik tidaknya tata kelola pemerintahan.
Kita memerlukan pembangunan yang visioner. Untuk itu, diperlukan pula pemimpin yang visioner, pemikiran yang visioner. Jauh kedepan. Bukan hanya kepentingan sesaat berupa keuntungan bisnis yang besar, namun menyisakan masalah besar di masa depan. Lalu, apakah para pemimpin di kota ini punya visi itu? Bagaimana dengan walikota Bogor? Kita tunggu jawabannnya!!! Apakah perbaikan lingkungan atau bencana betonisasi yang terjadi!!! Wallahu’alam bis showab.
Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023