Tingkat konsumsi beras Indonesia yang sedemikian tinggi hingga mencapai 133 kg per kapita per tahun, termasuk tertinggi di Asia, telah membuat tekanan terhadap beras semakin besar. Hal inilah yang membuat Pemerintah sangat perhatian dalam program pencapaian swasembada beras. Berbagai langkah intensifikasi sudah dilaksanakan. Bahkan, secara produktivitas, tingkat produksi padi per Ha di Indonesia yang rata-rata sebesar 5,1 ton per Ha adalah nilai produktivitas padi terbesar di Asia Tenggara, bahkan juga beberapa Negara lain di dunia.
Namun, melihat kondisi luasan lahan sawah yang semakin hari semakin tertekan dan banyak terjadi konversi, perlu ada upaya diversifikasi pangan pokok untuk mengurangi tingkat konsumsi beras. Hal ini menjadi salah satu jalan agar Negara Indonesia tetap memiliki derajat ketahanan pangan yang tinggi.
Implementasi penganekaragaman bahan pangan secara konsisten bukan hanya dapat mengurangi tekanan serta ketergantungan pada beras sebagai bahan makanan pokok, dan pada produk impor, dalam hal ini terigu yang datangkan dari luar, melainkan juga dapat menghasilkan ‘multiplier effects’, hasil positif yang berlipat-ganda, dalam menggerakkan kehidupan ekonomi masyarakat secara nyata.
Dengan terbukanya peluang kerja usahatani dan berbagai usaha ekonomi sektor riil di pedesaan, niscaya akan dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja, dan mengurangi pengangguran. Pada saat yang sama, hal itu pun akan mampu mengurangi arus urbanisasi dari kawasan pedesaan ke perkotaan, yang selama ini berlangsung sangat mencemaskan. Karena terserapnya tenaga kerja di perdesaan dan menciptakan lapangan pekerjaan baru di sektor pertanian dan usaha ekonomi terkait lainnya.
Pada sisi ekonomi kreatif, terbuka tantangan sekaligus peluang bagi ide-ide kreatif kuliner yang sangat prospektif untuk mengembangkan pengolahan bahan pangan non-beras dan non-terigu yang lebih luas. Ini juga berarti dapat mengembangkan sekaligus menggairahkan industri pengolahan pangan bagi kalangan pengusaha industri rumah tangga (PIRT), dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Ide kreatif pengembangan kuliner berbahan lokal tersebut, disertai dengan sentuhan teknologi pengolahan pangan yang memadai, niscaya akan dapat mengangkat citra pangan olahan nasional berbasis bahan produk lokal yang selama ini relatif terpinggirkan, menjadi tampil di pentas kuliner nasional. Penganekaragaman bahan pangan bukan hal yang mustahil, melainkan merupakan sesuatu yang realistis dan dapat dilakukan. Potensi yang ada tersebut layaknya seperti berlian yang belum terasah. Nilainya relatif masih kecil. Namun bila telah diasah dengan baik, niscaya akan menjadi perhiasan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Begitu juga komoditas non-beras. Selama ini keberadaanya relatif masih terpinggirkan. Bila dilakukan pengolahan dengan sentuhan teknologi tentu akan mampu meningkatkan citra, sehingga nilai tambahnya pun akan menjadi berlipat-ganda. Makanan non-beras seperti sagu, ubi jalar, jagung atau berbagai pangan lokal lainnya tidak berarti rendah status dan kurang modern. Jagung, singkong atau ubi jalar posisinya sama dengan beras sebagai makanan pokok.
Jika melihat betapa banyaknya keuntungan baik secara ekonomi maupun sosial yang didapatkan, maka, diversifikasi pangan sudah menjadi kebutuhan dasar yang harus segera direalisasikan…
Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023