Hari itu, 15 Nopember 1978, menjelang dzuhur lahirlah seorang bayi laki-laki di sebuah desa yang indah dan bersahaja, dari sebuah keluarga dan orang tua yang begitu menyayangi anak-anaknya tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Atang Trisnanto. Itulah nama yang diberikan kepada seorang bayi laki-laki yang sangat ditunggu kehadirannya oleh sang ayah, yang sebelumnya telah dikaruniai dua putri yang mulai menginjak remaja. Alhamdulillah, Allah SWT memberikan kesempatan kepada hamba yang lemah ini untuk hadir di kehidupan dunia dan berusaha untuk mendapatkan tiket terbaik kelak di akhirat…

Dengan suasana Dusun Plaosan, Desa Gendoh, di Kabupaten Banyuwangi – Jawa Timur yang begitu bersahaja, masa kecil menjadi suatu masa-masa yang sangat indah dan begitu akrab dengan alam raya, alam nan indah dengan sentuhan hangat  dan  mempesona. Perang-perangan, kejar-kejaran, berburu, mandi di sungai, naik kerbau di sawah, jitungan, petak umpet, mobil-mobilan dari bambu dan kulit jeruk, yoyo, dan berbagai permainan anak-anak kampong lainnya telah mengajarkan banyak warna kepada kami, anak-anak desa yang belum mengenal sentuhan teknologi modern. Listrik pun baru masuk ke kampong kami setelah saya berumur 13 tahun. Sebelumnya, kalau ingin melihat siaran tinju Mike Tyson, kami ramai-ramai melihat TV hitam putih di salah satu rumah penduduk yang cukup kaya dengan menggunakan energi dari Accu.

Masa sekolah pun tiba. Taman kanak-kanak, sekolah dasar, SMP, dan SMU semuanya dijalani di Banyuwangi, kampung halamanku. Selama 8 tahun, sejak kelas 1 SD hingga 2 SMP, otot-otot kaki menjadi terlatih karena tiap hari naik sepeda pancal ke sekolah. Kalau jarak SD ke rumah sih ga terlalu jauh hanya sekitar 2 km, tapi yang SMP lumayan juga, 12 km dari rumah. Sungguh, ini juga menjadi pelajaran yang luar biasa bagi seorang laki-laki kecil yang berusaha menggapai mimpi-mimpinya.

Cita-cita yang selalu berubah, seperti ingin jadi dokter, tentara, guru, dosen, dan insinyur berjalan dan berganti  dari waktu ke waktu. Sebagai seorang anak bungsu, saya tentunya ingin mendapat kemanjaan dari kedua orang tua. Namun, ternyata Bapak adalah seorang pendidik yang sangat tegas. Banyak hal yang sangat diatur tegas oleh beliau. Namun, kebaikan dari pendidikan yang diterapkan Bapak dan Ibu baru bisa disadari manfaatnya ketika kita menjelang dewasa dan sudah berkeluarga.

SMP dan SMU adalah masa dimana saya berusaha untuk mendapatkan sebuah kepercayaan diri, bahwa sebenarnya diri kita punya kemampuan yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Anak kecil yang beranjak menjadi pemuda ini dasaanya pemalu, apalagi ketika sekolah di SMP dan SMU nya ke kota kecamatan terbesar kedua setelah ibukota Kabupaten. Minder, tidak percaya diri, sering berkecamuk dalam dadanya. Alhamdulillah, ternyata diriku tidak ketinggalan dibandingkan teman-teman yang lain dan masih bisa berprestasi dalam akademik. Dan juga sedikit prestasi dalam sepak bola.

Jarak yang jauh antar rumah dan sekolah membuatku harus hidup jauh dari orang tua. Disitulah aku menjalani masa SMU yang begitu banyak nuansanya. Menjadi seorang yang ekspresif, independen, dan bebas berkreasi. Pernah suatu masa, saya bersama kawan-kawan yang lain nekat menggalang demo di sekolah. Ya, jiwa pemberontak dan berani khas Jawa Timuran itu mulai merasuk dalam jiwa-jiwa kami. Padahal, jaman itu sangat anti yang namanya demo atau kritikan. Maklum, semuanya masih hidup pada jaman orde baru, di tahun 1996. 

Kesempatan itu datang juga. Sebuah Undangan Seleksi Masuk IPB datang ke sekolah dan diriku salah seorang yang punya kesempatan untuk mengikutinya. Beberapa bulan berikutnya, di saat  mengikuti persiapan intensif UMPTN di Surabaya, kabar bahagia itu datang juga. Pemuda kecil dari kampung ini akhirnya diterima juga menjadi salah seorang mahasiswa IPB di jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Dengan agak-agak takut dan malu-malu, sampailah pemuda Plaosan ini di Bogor. Placement test yang diadakan membuat badanku basah dan banjir oleh keringat. Ternyata, teman-teman tampak seperti pemuda-pemuda yang cerdas dan intelek. Berbeda denganku yang datang dari kampung di ujung timur pulau Jawa. Namun, semuanya itu berangsur pulih setelah Allah mentakdirkan diriku mendapat nilai yang sangat memuaskan di matrikulasi, rasa tidak pede itu berangsur hilang.

Dunia kampus ternyata banyak sekali dinamikanya. Disinilah saya mulai menemukan tujuan hidup yang sebenarnya. Allah membukakan jalan untuk bertemu dengan orang-orang baik, orang-orang sholih, dan orang-orang yang luar biasa jiwa pengorbanannya. Ya, disinilah (di Perguruan Tinggi), akhirnya lambat laun diriku mulai memahami akan jati diri, apa tujuan hidup, dan apa yang harus dilakukan sebagai seorang manusia, seorang hamba Allah yang diciptakan untuk membuat sebuah perbaikan  dan membangun peradaban. Inilah TARBIYAH… Dan dari sinilah, semuanya berawal…

Selain aktivitas tarbiyah, aktivitas kemahasiswaan di kampus dapat membantu dalam meningkatkan pemikiran-pemikiran dan kedewasaan serta kebijakan dalam berpikir, dan kematangan dalam bertindak.  Motto ASIK Fahutan begitu membekas. Agamis, Sportif, Intelektual, dan Kreatif. Ingin sekali menjadi sosok Rimbawan yang memiliki sifat ASIK, terlebih lagi dengan nilai-nilai Islam yang menjadi  keyakinanku.

Kebersaman, keberanian, dan kekeluargaan adalah sesuatu yang kami dapatkan dari Corsa Rimba. Kehidupan di dalam hutan ketika praktek lapang, kerja sama pada masa-masa menempuh perkuliahan, kecintaan terhadap alam, adalah bagian hidup yang banyak memberikan pelajaran…  Sekali lagi, hidup banyak memberikan pelajaran, dan kita senantiasa dituntut untuk selalu belajar. Belajar dari siapa saja dan dari apa saja. Karena sesungguhnya belajar  adalah bagaimana kita bisa mengambil hikmah dari segala yang ada di sekeliling kita.

Alhamdulillah, bayi kecil dari kampung itu akhirnya tumbuh menjadi anak laki-laki kecil yang merasakan indahnya alam dan kebersamaan, berkesempatan tumbuh menjadi pemuda dan menemukan identitas hidupnya, dan saat ini ketika dewasa, kembali berulang-ulang Allah beri karunia dengan hadirnya pendamping hidup dan buah hati paling berharga… Semoga kami semua dapat istiqomah, dikumpulkan selalu dengan orang-orang sholih, dapat memberikan yang terbaik untuk kehidupan, dan senantiasa mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT….  hingga menggapai Ridho-Nya…..

Ya, semuanya berawal dari sini… berawal dari tarbiyah…

Meski dari kampung yang nun jauh disana, awal itu menjadi suatu kado yang indah dari Rabb Azza wa Jalla….

Semuanya menjadi indah dan manis, berawal dari indahnya tarbiyah…

Dari kampunglah bayi laki-laki kecil itu dilahirkan.. di ujung timur pulau Jawa, di sebuah kabupaten yang dikenal dengan sebutan ”Sunrise of Java”. Dari sanalah semuanya berawal. Dalam perjalanannya, Allah SWT banyak memberikan jalan baginya untuk berkelana mencari jati diri dan makna hidup yang sesungguhnya. Tatkala masuk jenjang Perguruan Tinggi, disanalah semua kembali berawal. Dunia kampus ternyata banyak sekali dinamikanya. Disinilah seseorang mulai menemukan tujuan hidup yang sebenarnya. Begitu juga dengan pemuda kampung itu. Allah membukakan baginya jalan untuk bertemu dengan orang-orang baik, orang-orang sholih, dan orang-orang yang luar biasa jiwa pengorbanannya. Ya, disinilah (kampus), akhirnya lambat laun pemuda desa yang haus mencari makna hidup semenjak SMA itu mulai memahami akan jati diri, apa tujuan hidup, dan apa yang harus dilakukan sebagai seorang manusia, seorang hamba Allah yang diciptakan untuk membuat sebuah perbaikan  dan membangun peradaban. Inilah TARBIYAH… Dan dari sinilah, semuanya berawal…

Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023