Salah satu kebijakan Pemerintah yang sangat berpengaruh dalam upaya pencapaian kesejahteraan umum adalah kebijakan politik anggaran (kebijakan fiskal). Melalui instrumen kebijakan fiskal, Pemerintah membuat kebijakan pembelanjaan anggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan otuput, dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Salah satu bentuk kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah pos belanja subsidi. Banyak pro kontra terhadap pos belanja ini, untuk itu perlu dicarikan rumusan skema yang lebih tepat dalam pencapaian targetnya.

Membangun Sistem Subsidi Yang Tepat di Sektor Pertanian

Skema Umum Program Subsidi

Jenis subsidi bisa dikelompokkan berdasarkan sasaran penerima ataupun bentuk yang diberikan. Berdasarkan sasaran penerima, subsidi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu subsidi konsumen (consumer subsidy) dan subsidi produsen (producer subsidy). Sedangkan kelompok subsidi yang dikelompokkan berdasarkan bentuk subsidi yang diberikan, dibedakan menjadi subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).

Skema masing-masing bentuk subsidi memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Hyman (2005) menyebutkan bahwa subsidi dalam bentuk barang dipercayai lebih tepat sasaran. Jika diberikan dalam bentuk uang, dana transfer dari Pemerintah dikhawatirkan tidak dibelanjakan untuk keperluan yang dituju, melainkan dapat digunakan untuk belanja konsumsi, seperti membeli rokok, pulsa telepon, perhiasan, atau lainnya. Hal ini bisa dilihat dari model-model penyimpangan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Akibatnya, subsidi menjadi tidak tepat sasaran.

Dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) bukanlah program pengentasan kemiskinan yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, tetapi lebih bersifat sementara dan konsumtif. Sebaliknya, jika subsidi dalam bentuk barang, dikhawatirkan barang yang diberikan tidak sesuai dengan harapan masyarakat mengingat proses pengadaan barang Pemerintah seringkali diwarnai proses yang tidak sehat dan banyak penyimpangan. Misal, penyaluran raskin yang sering ditemukan kualitas beras yang sangat jauh dari ketentuan dan akhirnya tidak dikonsumsi.

Program Subsidi Sektor Pertanian

Subsidi untuk sektor pertanian hanya berkisar 2-3% dari APBN. Jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan subsidi untuk energi, pendidikan, maupun pertahanan dan keamanan. Itu menunjukkan suatu hal yang timpang.  Subsidi sektor pertanian perlu ditingkatkan, setidaknya hingga 10%, karena sektor pertanian memiliki dampak yang besar pada Pendapatan Domestik Bruto (GNP), penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan angka kemiskinan terutama kemiskinan di pedesaan.

Dalam skema subsidi sektor pertanian, Pemerintah tampak hanya memfokuskan diri pada subsidi input dengan maksud agar biaya produksi pertanian menjadi lebih murah. Subsidi pupuk, bantuan langsung benih unggul, bantuan pestisida, dan permodalan menjadi program utama Pemerintah dalam satu dasawarsa terakhir.

Bentuk subsidi produsen sendiri bisa dikelompokkan menjadi beberapa macam, yaitu :

  1. Input Subsidy
  2. Perlindungan Harga (Floor Price)
  3. Insurance
  4. Income Subsidy

Input Subsidy diberikan dalam bentuk pemberian input produksi yang bertujuan untuk menaikkan produktivitas dan menekan tingginya biaya produksi. Bentuk subsidi ini antara lain adalah subsidi harga pupuk urea, bantuan langsung pupuk organik, bantuan langsung benih unggul, bantuan pestisida, ganti rugi gagal panen (puso), inseminasi buatan (IB) untuk sapi.

Dalam teori subsidi yang digunakan Pemerintah, subsidi input dapat menaikkan produksi. Sebagai contoh, jika tidak disubsidi pupuk maka petani hanya mampu membeli pupuk urea sebanyak 1,5 kuintal sehingga hasil produksi padi per hektarnya adalah Y1. Apabila harga pupuk disubsidi, maka petani dapat membeli sebanyak 2,5 kuintal (titik X2) sehingga sesuai dengan kebutuhan pupuk berimbang dan dapat menaikkan produksi menjadi Y2.

Grafik peningkatan produksi tersebut hampir sama dengan peningkatan jumlah konsumsi barang bersubsidi seperti yang disampaikan oleh Robert Pyndick. Pyndick (2009) menyebutkan bahwa ketika Pemerintah memberikan subsidi, maka tingkat permintaan bergeser sebesar perubahan dari Q1 menuju Q2, dimana Q2 > Q1. Ini yang dia sebut sebagai efek positif dari subsidi, yaitu daya beli meningkat.

Begitu pula dengan subsidi untuk inseminasi buatan (IB) pada sapi betina. Apabila tanpa menggunakan IB (pada titik X1), maka ada kemungkinan terjadinya peluang kegagalan pembuahan sapi betina akibat kurangnya sapi jantan yang dimiliki petani. Namun, dengan pemanfaatan teknologi melalui subsidi inseminasi buatan, terjadi peningkatan kemungkinan keberhasilan pembuahan sehingga meningkatkan produksi menjadi Y2.

Bentuk subsidi input yang lain adalah perlindungan harga (floor price). Untuk sektor pangan, dibuat Perpres tentang penetapan HPP (harga pembelian pemerintah) untuk komoditas gabah berupa harga dasar (floor price). Untuk harga gabah kering panen, saat ini HPP nya sebesar Rp. 3.700/kg. Apabila harga pasar berada dibawah HPP, maka Pemerintah melalui instrumen fiskal yang dikelola oleh Bulog wajib menyerap gabah petani dengan harga sesuai HPP.

Kelemahan dari subsidi input di sektor pertanian selama ini antara lain adalah :

  1. Penyelewengan program sehingga tidak tepat sasaran. Akibatnya petani kecil yang seharusnya mendapat program subsidi justru tidak menerima karena diselewengkan seperti kasus penyelundupan subsidi pupuk ke perkebunan.
  2. Subsidi input dalam bentuk barang seperti benih unggul rawan penyimpangan dalam pengadaan barang. Akhirnya, benih yang disalurkan tidak berkualitas dan justru merugikan petani akibat produksi yang rendah.
  3. Subsidi bunga kredit tani tidak termanfaatkan secara optimal karena perbankan terlalu ketat dalam mekanisme penyaluran kepada petani ataupun kelompok tani.
  4. Berbagai macam program subsidi tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara tajam akibat jatuhnya harga komoditas pertanian pada saat panen raya.
  5. Subsidi input dalam bentuk barang yang tidak optimal dalam penggunaanya. Semisal bantuan traktor, alat panen, sapi, dan lain-lain yang pada akhirnya terbengkalai karena mismanajemen ataupun permasalahan konflik kepemilikan di tingkat kelompok tani. 

Strategi Perbaikan Subsidi Pertanian

Dengan berbagai kelemahan tersebut, perlu dilakukan perubahan skema dan sistem subsidi yang lebih tepat di sektor pertanian. Secara mendasar, beberapa perbaikan yang bisa dilakukan antara lain :

Pertama, perubahan subsidi input menjadi subsidi ouput, yaitu dalam bentuk pembelian komoditas pangan utama oleh Pemerintah dengan kebijakan harga minimal (floor price). Penerapan subsidi output untuk gabah misalnya, memungkinkan harga gabah para petani tetap stabil. Subsidi output juga mampu menjaga agar harga komoditi tidak jatuh, serta melindungi harga gabah para petani. Begitu pula kebijakan pembelian dengan harga minimal untuk berbagai komoditas strategis yang lain seperti jagung, kedele, cabe, bawang, dan lain-lain. Peran ini bisa dilakukan oleh Bulog sebagai lembaga strategis pangan nasional.

Tantangan atau kelemahan dari subsidi output adalah ketepatan sasaran. Jangan sampai subsidi jatuh bukan ke petani, tetapi malah ke pedagang atau penggilingan. Oleh karena itu, pendataan atau pendaftaran para petani harus akurat dan pengawasan di lapangan juga harus diperketat.

Kedua, producer subsidy dapat diberikan dalam bentuk insurance subsidy. Pemerintah dapat menggulirkan asuransi gagal panen pada berbagai produk pertanian. Pemerintah dapat membantu mensubsidi iuran premi yang menjamin keberlangsungan usaha tani apabila terjadi gagal panen atau puso.

Ketiga, subsidi input khusus untuk barang yang tidak dapat diproduksi secara baik oleh petani. Bentuk subsidi ini antara lain subsidi berupa inseminasi buatan untuk hewan ternak, subsidi pengembangan budidaya benih tanaman pangan, dan pengembangan budidaya benih tanaman hortikultura. Bukan pada bentuk bantuan sapi, kambing, benih, atau yang selama ini sering dilakukan dan akhirnya tidak mencapai hasil yang optimal.

Keempat, pengalihan subsidi ke dalam bentuk belanja infrastruktur. Baik berupa infrastruktur budidaya (irigasi dan jalan), infrastruktur pasca panen (pasar tani dan industry agro milik pemerintah), maupun infrastruktur penunjang (angkutan dan gudang logistik).

DAFTAR PUSTAKA

  • Hyman,  ND. 2005.  Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy. Thomson Learning.
  • Pendrill, C. 2000. The English Reformation: crown power and religious change, 1485-1558. Heinemann. ISBN 0-435-32712-7
  • Pyndick, R. 2009.  Microeconomics. Pearson Education, Inc.
  • Todaro, MP,  Smith, SC. 2009. Economic Development. 10th edition. Addison Wesley. p. 839. ISBN 978-0-321-48573-1.

Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023