Pohon pisang itu akan tetap tumbuh sampai ia menghasilkan buahnya. Tak peduli dirinya dipotong, pohon pisang akan berusaha tumbuh terus sebelum berhasil memberikan buah terbaiknya. Begitu juga dengan air. Air tidak akan pernah diam menggenang dalam suatu tempat. Dia akan terus dan senantiasa terus bergerak dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Terus dan terus bergerak.

Banyak fenomena alam dan kehidupan yang mengajarkan kepada kita, tentang arti sebuah perjuangan yang tak kenal henti. Sebuah pengabdian yang terus dipersembahkan hingga pengabdian itupun memberikan buah manfaat yang terwujud. Air dan pohon pisang diatas hanyalah dua contoh dari sekian banyak hikmah, yang masih banyak di sekitar alam kita, fenomena-fenomena sejenis yang Allah ciptakan.

Cukuplah itu menjadi pelajaran penting bagi kita, seorang manusia-hamba-yang Allah ciptakan sebagai makhluk terbaik di alam raya ini. Jika makhluk yang bukan terbaik memberikan banyak pelajaran penting nan berharga, maka sudah seharusnyalah kita untuk memberikan yang terbaik dan jauh lebih baik dari apa yang diberikan oleh ciptaan Allah yang lain.

Antara Hidup dan Mati

Ada satu istilah menggelitik yang disampaikan adik kelas saya ketika sama-sama aktif di dunia gerakan mahasiswa. Saya waktu itu bilang bahwa sebagai makhluk hidup, kita harus senantiasa bergerak dan memberikan karya untuk peradaban ini, karena Allah telah memberikan kesempatan hidup buat kita. Dia yang kuliah di jurusan Biologi itu sepakat dengan hal tersebut, lalu menambahkan teori bahwa salah satu ciri makhluk hidup itu adalah bergerak. Karena, jika makhluk tersebut tidak bergerak, itu sebagai tanda bahwa ia telah mati.

Hidup, Mati. Dua paradoks dalam kehidupan. Dan keduanya niscaya hadir dalam kehidupan kita. Hidup serasa mati kalau kita masih hidup namun tidak melakukan gerakan untuk terus berkontribusi, kita mati secara humanity. Dan yang kita takutkan, kita mati secara jiwa. Orang-orang yang dalam hidupnya senantiasa beraktivitas kebaikan, mengisi detik-detik hidupnya dengan kerja-kerja produktif untuk tegaknya kebenaran dan keadilan, yang jiwanya selalu terpanggil untuk berbuat sesuatu yang terbaik untuk negaranya, niscaya dirinya tidak akan pernah mati.

Banyak diantara kita yang saat muda dulu adalah orang-orang dengan aktivitas tinggi. Ada aktivis kampus, aktivis sosial, aktivis pendidikan, dan berbagai aktivis lainnya. Bisa jadi, pada satu fase kehidupan kita tak bersinggungan lagi dengan dunia aktivitas yang pernah kita geluti. Bisa jadi, pada satu waktu kita sudah disibukkan dengan aktivitas pekerjaan dan profesi yang menuntut lebih banyak waktu kita. Lambat laun, aktivitas sosial dan kemanusiaan mulai terkurangi porsi waktunya. Sedikit demi sedikit aktivitas-aktivitas ideologis mulai terkurangi dari waktu ke waktu.

Aktivis, Dimana Jiwamu Kini?

Sebelum meninggalkan dunia kampus karena telah lulus dan menyandang predikat sarjana, seorang dosen senior yang banyak bersinggungan dengan aktivitas kemahasiswaan memberikan pesan singkat kepada saya. “Saya tunggu kamu untuk terus memberikan kontribusi terbaik di dunia nyata. Jangan berhenti. Saya pernah mahasiswa, dan saya juga pernah aktif dalam pergerakan mahasiswa. Hingga saya menjadi tua seperti sekarang, satu yang saya rasakan, bahwa aktivis itu tidak pernah mati. Dia akan terus dan terus bergerak”.

Sekumpulan anak-anak muda yang telah dewasa berkumpul kembali dalam satu cita. Membangun kembali idealisme mereka dalam tataran kehidupan nyata. Terus memberikan waktu dan pikiran serta tenaga mereka untuk kejayaan negerinya. Mereka punya tekad kuat untuk memberikan yang terbaik. Dan saya pun kembali teringat pesan dosen tua tadi, aktivis tidak pernah mati. Betul, jiwa aktivis itu (seharusnya) tidak pernah mati.

Ah…. Sungguh rindu diriku terhadap jiwa – jiwa itu….

Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023