Kenaikan harga beras dalam satu bulan terakhir (akhir Januari sd akhir Februari 2015) cukup mengejutkan. Malam itu saya dikagetkan dengan keluhan seorang kawan yang habis membeli beras. Harga beras sudah tembus Rp. 18 ribu per kg untuk kualitas premium. Keesokan paginya, saya menelepon Bapak di kampung dan menanyakan berapa harga gabah yang diterima petani sekarang. Terus terang, sebagai anak petani dan pernah kuliah di kampus pertanian, fenomena lonjakan harga beras yang cukup drastis saat ini membuat dahi saya berkerut menua.

Kenaikan harga beras hingga 30% ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah dalam 15 tahun terakhir. Kenaikan harga beras pada masa-masa sebelum panen raya dimulai (Desember s/d Februari) biasanya paling tinggi hanya berada pada kisaran  angka 5-10%. Di pasaran, beras kualitas medium rata-rata seharga Rp. 12 ribu dari sebelumnya Rp. 9 ribu. Belum yang kualitas premium, harganya jauh lebih tinggi dari itu.

Di ujung telepon, Bapak menyampaikan bahwa harga gabah yang dijual petani saat ini sebesar Rp. 4.750,- Harga tersebut tidak jauh berbeda dengan harga gabah 1 sampai 2 bulan sebelumnya yang sebesar Rp. 4.550,- atau naik sebesar 4%. Hal ini tentunya berkebalikan dengan fenomena kenaikan harga beras hingga 30%. Dengan kenaikan harga yang cukup tinggi tersebut, lantas banyak muncul berbagai spekulasi penyebabnya. Di pihak Pemerintah, mensinyalir adanya mafia beras. Namun disisi pedagang dan pengusaha beras, berpendapat bahwa pasokan beras turun drastis. Lantas, siapa yang benar?

Faktor-Faktor Penentu Harga Beras

Dalam teori ekonomi, hukum supply and demand menjelaskan bahwa kenaikan harga barang disebabkan oleh rendahnya supply dan tingginya demand. Apakah hukum ekonomi ini berlaku juga pada kenaikan harga beras saat ini?

Coba kita tengok satu per satu permasalahannya. Jika bicara demand, permintaan terhadap beras relatif stabil dari waktu ke waktu. Kalaupun ada permintaan yang melonjak, biasanya akan terjadi pada bulan-bulan hari raya keagamaan seperti Lebaran dan Tahun Baru, dan secara statistik juga tidak signifikan angka kenaikannya. Dan pada bulan Februari ini, tidak ada kejadian luar biasa yang menyebabkan permintaan terhadap beras naik tinggi.

Satu-satunya faktor yang mungkin bisa dijadikan alibi oleh pihak terkait adalah kenaikan permintaan beras oleh keluarga miskin karena Pemerintah tidak membagikan raskin pada bulan Nopember-Desember. Kalaupun benar, permintaan tersebut rata-rata hanya sekitar 8% dari total konsumsi beras nasional per bulan dan efek kebijakan tersebut hanya berlaku pada bulan Desember dan Januari, sehingga di bulan Februari ini seharusnya permintaan kembali normal. Artinya, dari sisi demand tidak mengalami lonjakan yang tajam dalam waktu-waktu ini.

Selanjutnya adalah faktor supply. Yang berpengaruh terhadap seberapa besar tingkat supply ini sangat banyak dan beragam. Pertama, dari sisi produksi. Kedua, dari sisi distribusi. Ketiga, dari sisi cadangan atau stok di gudang penyimpanan. Keempat, dari sisi akses. Dan kelima, dari sisi perilaku perdagangan.

Dari sisi produksi, di Indonesia memiliki sebaran produksi yang khas dan tidak ada perubahan cukup besar dari tahun ke tahun. Panen raya biasa terjadi antara bulan Maret sampai Juni hasil dari pertanaman musim hujan (MH). Lantas produksi akan menurun pada bulan Juli sampai Agustus dan mengalami paceklik pada bulan September sampai Oktober karena adanya musim kemarau di bulan Juni sampai dengan Oktober. Untuk produksi padi di tahun 2014-2015 ini, belum ada faktor pengganggu yang ekstrem untuk mempengaruhi produksi. Faktor ekstrem seperti banjir, hama padi, ataupun kegagalan panen hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada yang ekstrem atau lonjakan yang sangat besar. Artinya, produksi yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya seharusnya tidak berpengaruh terhadap supply.

Ketiga, dari faktor cadangan atau stok di Gudang Bulog, dalam tiga tahun terakhir (2013-2015), cadangan beras di Bulog relatif stabil dan mencukupi. Namun, harus diakui pula bahwa cadangan beras saat ini (1.6 juta ton) lebih rendah dari angka yang seharusnya 2 juta ton. Dalam kondisi ini, Mengenai akses masyarakat terhadap beras, rasanya belum ada kejadian luar biasa tentang sulitnya rakyat dapatkan beras di pasar. Belum ada fenomena kelangkaan dan belum ada juga fenomena antrian. Dengan demikian, tinggal faktor distribusi dan perilaku tata niaga yang perlu diurai satu persatu. Jujur, untuk mendapatkan fakta yang terang benderang tentang normal tidaknya distribusi dan benar tidaknya perilaku perdagangan sangatlah sulit.

Siapa Untung?

Jika dihitung konversi dari gabah kering panen ke beras, maka petani selayaknya mendapatkan harga separuh dari harga beras. Darimana angka ini berasal? Beras didapatkan dari penggilingan gabah kering giling (GKG) dengan rendemen 62.74%. GKG didapatkan dari gabah kering panen (GKP) dengan rendemen di kisaran angka 84%. Dengan demikian, rendemen dari GKP ke beras sebesar 52.7%. Jika di pasar harga beras Rp. 13 ribu, idealnya harga gabah petani adalah Rp. 5.500, karena diasumsikan yang Rp. 1.350 adalah margin untuk pedagang. Adakah harga gabah yang sedemikian tinggi di petani saat ini?

Kembali kepada masalah supply, meskipun produksi dan stok beras tidak dalam masalah yang rawan, harga bisa berfluktuasi apabila kedua faktor, distribusi dan tata niaga, tidak tertangani dengan baik. Keterlambatan distribusi beras dari sentra produsen ke konsumen dan perilaku rent seeking dapat menaikkan harga barang pada tingkat konsumen. Faktor inilah yang seharusnya diselesaikan oleh Pemerintah yang memiliki kewenangan cukup besar.

Perbaikan sistem distribusi dengan perbaikan di dalam hal angkutan publik maupun angkutan jalan mau tidak mau menjadi pekerjaan rumah yang tidak bisa ditawar. Perilaku perdagangan, diantaranya motif rent seeking dapat diminimalisir apabila Pemerintah turun secara all out dalam tata niaga dan sistem supply chain pangan pokok utama seperti beras. Selama ini, Pemerintah kurang memiliki instrumen dalam tata niaga beras. Untuk itulah, Bulog yang sebenarnya diharapkan dapat memainkan peran stabilisator dan penyedia stok pangan, dikembalikan ke fungsi utamanya semula, sebagai lembaga pemerintah non departemen (LPND). Bukan lagi sebagai BUMN yang ditugaskan untuk mencari profit. Dengan posisinya sebagai BUMN, menghambat langkah Bulog untuk menjalankan fungsi PSO (public service obligation). Biarkan BUMN lain yang mencari profit, tapi tidak untuk Bulog. Banyak nilai sosial dan ekonomi yang bisa diberikan Bulog selain nilai profit sebuah korporat.

Regulasi dan pengawasan yang ketat dalam tata niaga bahan pangan pokok, penyempurnaan sistem distribusi, dan pengembalian fungsi Bulog sebagai LPND adalah langkah strategis yang sifatnya menengah dan jangka panjang. Namun, tanpa memulainya sekarang, sama dengan memelihara permasalahan. Dalam jangka pendek, mau tidak mau Pemerintah harus turun tangan secara langsung dan cepat. Bulog harus segera melakukan operasi pasar pada wilayah yang lonjakan harganya tinggi dan wilayah yang strategis. Kepolisian harus melakukan operasi yang tegas terhadap kemungkinan adanya penimbunan beras.

Kementerian Pertanian harus memetakan sebaran panen dan mengkoordinasikannya dengan Kementerian terkait ataupun Dinas Daerah agar distribusi hasil panen dapat segera masuk ke pasar. Dalam satu sampai tiga bulan mendatang, Bulog harus menyerap gabah hasil panen raya petani seoptimal mungkin. Terakhir, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian harus mengkoordinasikan penggilingan padi dan pedagang beras untuk mengeluarkan stoknya ke pasar. Pemerintah juga bisa saja menerapkan aturan margin profit minimal ataupun maksimal dari sistem tata niaga. Tidak seperti sekarang ini, harga naik sangat tinggi sementara harga di petani sangat kecil kenaikannya. Dalam perhitungan matematis, berarti ada pihak yang mengambil keuntungan sangat besar.

Apabila masalah-masalah diatas tidak juga diselesaikan, kita akan kembali menghadapi masalah yang sama di tahun-tahun mendatang. Celakanya, kenaikan harga beras ini tidak dinikmati oleh petani. Entah, siapa yang menikmatinya. Namun, bisa dipastikan bahwa yang menderita kerugian terbesar adalah jutaan rakyat kecil dan petani di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Apalagi buruh tani, yang tidak punya gabah dan tetap harus membeli beras untuk menyambung hidup mereka. Semakin susah saja kebanyakan wong cilik, karena beban listrik, bensin, gas, dan harga-harga barang pun ikut naik….

Dua pekan setelah telepon pagi itu, tadi siang kembali Bapak menelepon. “Le, piye iki kok harga gabah anjlok. Saiki regone cuman Rp. 4.200 per kg, iku pun pabrik penggilingan durung tentu nerimo. Soale wedi hargane mudun maneh”. Duh Gusti, ketidakadilan apalagi yang terus hadir di negeri ini. Saat harga beras naik, pahlawan pangan itu tidak turut menikmatinya. Tapi setelah harga beras normal kembali, justru merekalah yang menanggung itu semua.

Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023