Tak terasa, mata ini terasa panas menahan jatuhnya buliran air hangat yang siap menyusuri anak sungai kelopak mata… Kenapa jiwa yang sebenarnya tegar ditempa aksi demonstrasi di akhir 90 an hingga awal 2000an ini akhirnya tak mampu menahan luapan melankolis tersebut? Selain lagu-lagu heroik khas Izzis, Ruhul Jadid, ataupun Shoutul Harakah, ternyata ada dua lagu yang identik dengan keprofesian yang dapat mencerabut sisi sentimentil penulis. Pertama, lagu Mars Rimbawan yang mampu mengaduk-ngaduk jiwa dan perasaan selama 6 tahun menjadi mahasiswa S1 Fahutan IPB. Kedua, adalah lagu hymne IPB yang terpaksa mengoyak benteng syahdu jiwa di kala momen prosesi wisuda 12 tahun yang lalu.

Mars Rimbawan… Lagu penyemangat sarat makna bagi para pecinta lingkungan dan kehutanan. Rimbawan, yang mungkin bagi sebagian publik adalah sebutan yang kurang keren… identik dengan seseorang yang hidup di rimba hutan raya… Namun, bagi kami para mahasiswa kehutanan, Rimbawan merupakan identitas dan jati diri yang membuat hati ini merasa punya nilai di alam semesta raya.

Hai Perwira, Rimba raya….
Mari kita bernyanyi….
Memuji hutan rimba dengan lagu yang gembira….
Dan nyanyian yang murni…..
Meski sepi hidup kita….
Jauh di tengah rimba….
Tapi kita gembira sebabnya kita bekerja untuk nusa dan bangsa…..

Itulah satu bait awal lagu Mars Rimbawan yang selalu menggugah semangat-semangat kami para Rimbawan muda. Idealisme untuk mendarmabaktikan seluruh jiwa raga kami demi kelestarian alam, kemanfaatan lingkungan bagi sosial ekonomi masyarakat kecil, dan keharmonian alam untuk keindahan bangsa yang kami tinggali. Hati kami seakan berteriak kegirangan tatkala mata kami menemukan pemandangan indah hijaunya pepohonan dan pegunungan. Sebaliknya, hati pun terasa teriris saat menyaksikan bekas tegakan yang kokoh nan rindang hanyalah tersisa tanah kering berselimutkan arang dan tunggak kayu kering.

Saat itu, ketika banyak bukit dan gunung kami daki, semangat akan tetap lestarinya hutan raya Indonesia masih tetap membuncah di dada kami. Optimisme bahwa dunia kami masih bisa diselamatkan adalah sebuah energi  besar yang senantiasa kami miliki. Dan hanya dengan mendengar serta menyanyikan lagu Mars Rimbawan, semangat itupun terus membuncah.

Hampir lebih dari sepuluh tahun berselang. Hari itu, 19 Agustus 2015, penulis kembali mendengarkan dan menyanyikan bersama lagu Mars Rimbawan yang telah lama tak diperdengarkan. Ada rasa haru. Ada rasa sedih. Ada rasa yang mengharu biru. Tak terasa, hawa panas di matapun mulai terasa menggenang. Namun, ada yang aneh. Ketika dahulu bernyanyi dengan optimisme yang tinggi, kini perasaan itu hanya tertinggal sebuah kekhawatiran yang besar. Kekhawatiran bahwa rimba raya negeriku hanya tinggal kenangan…. Maka, terlantunlah bait-bait yang dulu begitu menggugah jiwa itu dalam kesepian. Dan kembali, terdengarlah bait-bait pengaduk jiwa itu….

Rimba raya maha indah…….  
Cantik, molek, perkasa……     
Penghibur hati susah, penyokong nusa dan bangsa….          
Rimba raya mulia….. 
Di situlah kita kerja di sinar matahari……     
Gunung lembah berduri haruslah kita lalui dengan hati yang murni……     

Pagi petang, siang malam…..
Rimba raya berseru…..
Bersatulah bersatu, tinggi rendah jadi satu……
Pertolongan selalu……
Jauhkanlah sikap kamu yang mementingkan diri….
Ingatlah nusa bangsa minta supaya dibela oleh kamu semua…….

Reff:

Rimba raya, rimba raya |
Indah permai dan mulia |
Maha taman tempat kita bekerja | 2 x

Dedicated for all Indonesian Forester, especially Fahutan IPB 34

Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023