Begitu pentingnya masalah pangan, sejarah telah mencatat bahwa hampir semua negara dan pemerintahan menempatkan ketersediaan pangan sebagai kebijakan yang utama. Jika rakyat lapar, ancaman terhadap stabilitas nasional pun akan semakin besar. Maka, tidaklah berlebihan jika Perdana Menteri India periode 1947-1964, Jawaharlal Nehru mengatakan bahwa “segala sesuatu dapat menunggu, tapi tidak untuk pertanian. Apapun, yang paling utama adalah harus cukup pangan, berikutnya baru yang lain”.

Hal ini juga berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat peletakan batu pertama pembangunan kampus IPB di tahun 1963, Presiden Soekarno mengatakan bahwa “….adalah amat penting bagi kita, ….. mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita dikemudian hari …. Oleh karena, soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat: Cukupkah persediaan  makan rakyat dikemudian hari ?”.

Sejarah Kelembagaan Pangan Nasional

Kelembagaan pangan nasional memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Krisis sosial dan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia di awal tahun 1960-an telah menginspirasi Presiden Soekarno untuk membentuk Dewan Bahan Makanan (DBM) melalui Pepres No. 3 tahun 1964. Pada tahun 1967, kelembagaan pangan bertransformasi menjadi Komando Logistik Nasional (Kolognas). Pada tahun 1967, Kolognas dibubarkan. Setelah vakum selama 2 tahun, ditugaskanlah Bulog (Badan Urusan Logistik) sebagai lembaga distribusi pangan untuk golongan anggaran.

Bulog kembali mendapatkan penegasan tugas sebagai lembaga pangan yang bertugas untuk mengendalikan harga beras, gabah, gandum, dan bahan pangan pokok lainnya melalui Keppres No. 39 tahun 1978. Era kewenangan besar Bulog kembali diperkuat melalui penggabungan dengan Kementerian Negara Urusan Pangan pada tahun 1993. Namun sayangnya, itu tidak bertahan lama. Pada tahun 1995, Bulog kembali dipisahkan dengan Kementerian Negara Urusan Pangan.

Pasang surut kelembagaan pangan nasional kembali ditandai dengan lahirnya Keppres No. 19 Tahun 1998 yang membatasi tugas Bulog hanya pada komoditas beras. Setelah itu, kedudukan Bulog diposisikan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen pada tahun 2001. Melalui PP No. 7 Tahun 2003, resmilah Bulog menjadi sebuah Perusahaan Umum Negara dan berstatus sebagai BUMN hingga sekarang. Dengan posisi sebagai BUMN, Bulog memiliki kewajiban untuk mencari profit. Hal inilah yang dipandang sebagai kendala utama Bulog dalam memerankan dirinya sebagai lembaga pangan nasional yang kuat.

Lembaga Pangan di Negara ASEAN

Jika di Indonesia memiliki Bulog, maka beberapa negara tetangga kita di Asia Tenggara juga memiliki lembaga pangan yang serupa. Malaysia memiliki Beras Nasional Berhad (BERNAS). Thailand memiliki Public Warehouse Organization (PWO). Sedangkan Vietnam memiliki Vietnam Food Association (Vinafood).

Bernas bergerak dalam pengadaan dan pengolahan padi di Malaysia. BERNAS menguasai sekitar 24 persen pasar padi dan 45 persen permintaan beras lokal. PWO di Thailand bergerak dalam penyimpanan beras dan produk pertanian sebagai stok penyangga/cadangan Pemerintah. Seperti halnya Bulog, PWO juga melakukan pembelian beras petani pada masa panen raya yang biasanya berdampak terhadap rendahnya harga. Dengan ekspansinya, PWO menguasai 20 persen dari total produksi beras di Thailand. Bandingkan dengan Bulog, yang selama ini hanya mampu menyerap beras nasional kurang dari 10%.

Badan Pangan Nasional vs Kementerian Pangan

Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi kembali diuji masalah pangan di masa awal pemerintahan. Dimulai dari gejolak harga beras yang tertinggi selama sejarah reformasi pada minggu ketiga Februari 2015, kemudian disusul oleh gejolak naiknya harga bawang merah dan cabai di bulan Juni, harga daging sapi yang super fantastis mahal di bulan Juli-Agustus, dan yang terakhir kenaikan harga daging ayam dan telur yang juga tertinggi dalam 10 tahun terakhir di bulan Agustus.  

Apabila melihat dari data BPS, sebagian besar komoditas pangan tersebut mengalami surplus, kecuali daging sapi dan bawang merah. Lantas, bagaimana langkah yang harus diambil oleh Pemerintah untuk mengatasi gejolak ketersediaan dan gejolak harga pangan? Meminjam istilah revolusi mental Presiden Jokowi, perlukah revolusi mental di kebijakan kelembagaan pangan nasional?

Undang-undang No. 18 Tahun 2012 mengamanatkan dibentuknya Lembaga Pangan Nasional maksimal pada akhir 2015. Dari rancangan Perpres yang disusun, nama lembaga tersebut adalah Badan Pangan Nasional yang berkedudukan sebagai LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian) dan berada langsung di bawah Presiden.

Memandang kelembagaan pangan nasional hanya pada aspek distribusi dan logistik adalah sesuatu yang kurang tepat. Jika semangat kebijakan pangan adalah Kedaulatan Pangan Nasional seperti yang tersirat dalam kebijakan Pemerintah dan UU 18/2012, Kelembagaan Pangan Nasional harus diposisikan sebagai Lembaga yang memiliki kewenangan besar dari mulai produksi, distribusi, logistik, pengolahan, hingga pemasaran.

Untuk itu, diperlukan kelembagaan pangan dalam bentuk Kementerian Pangan ataupun Kementerian Koordinator Pangan. Lembaga ini memiliki kontrol dan kewenangan pangan dari hulu sampai hilir. Hal ini akan mengatasi permasalahan lemahnya koordinasi lintas kementerian dalam masalah pangan. Harus ada revolusi yang berani dalam kelembagaan pangan nasional. Dan revolusi itu memerlukan mental yang berani dari Pemerintah. Jika menilik dari jargon revolusi mental Kabinet Kerja, beranikah Pemerintah mengambil kebijakan yang kuat dan bersejarah dalam Kelembagaan Nasional di Masa Depan? Kalau melihat kebijakan tidak impor beras sampai akhir tahun ini, seharusnya Pemerintah juga berani melakukan perubahan mendasar tersebut. Semoga Kabinet Kerja memang benar-benar berani dan bekerja.

Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023