Tujuan dari berdirinya NKRI adalah terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sejalan dengan amanat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, Negara harus hadir dan menjamin semua rakyatnya (tanpa diskriminasi) mendapatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Termasuk warga yang tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri karena faktor usia, disabilitas, kesehatan, bencana alam, dan berbagai faktor penyebab lainnya.
Kesejahteraan dicerminkan oleh tingkat kemampuan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup seseorang. Semakin tinggi kemampuan ekonomi seseorang dan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, semakin mendekati level kesejahteraan seseorang tersebut. Hampir seluruh negara di dunia menempatkan kesejahteraan sebagai tujuan utama yang ingin dicapai. Dalam alinea ke-IV pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat maksud yang berbunyi “..memajukan kesejahteraan umum”. Untuk itu, negara harus hadir untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dan hajat hidup seluruh rakyat secara adil melalui pembuatan regulasi atau implementasi kebijakan-kebijakan Pemerintah, khususnya di sektor ekonomi dan pembangunan.
Sistem Jaminan Sosial vs Subsidi
Salah satu kebijakan Pemerintah yang dapat didorong untuk upaya pencapaian kesejahteraan umum adalah kebijakan politik anggaran (kebijakan fiskal). Melalui instrumen kebijakan fiskal, Pemerintah membuat kebijakan pembelanjaan anggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan otuput, dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Salah satu bentuk kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah pos belanja untuk social insurance (jaminan sosial). Di Indonesia, meski tidak sama persis, pos tersebut diwakili oleh pos belanja subsidi.
Dengan tujuan umum berupa peningkatan output, produktivitas, dan stabilisasi harga, maka subsidi bisa diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, subsidi Pemerintah menjadi sebuah kebijakan penting dalam sebuah negara. Subsidi dianggap mampu berfungsi sebagai alat peningkatan daya beli masyarakat serta dapat meminimalisasi ketimpangan akan akses barang dan jasa.
Namun, dalam perjalanannya, subsidi di Indonesia tidak luput dari berbagai polemik dan akhirnya mendapat kritikan dari berbagai pihak. Polemik tersebut antara lain adanya kepentingan politik dalam subsidi, program yang tidak tepat, program yang tidak menjawab kebutuhan lapangan, hingga ketidaktepatan sasaran pihak penerima subsidi. Beberapa kebijakan tentang subsidi yang kental dipengaruhi oleh aspek politik antara lain adalah bantuan tunai langsung, bansos, dan program kartu indonesia sehat.
Solusi ke Depan
Ke depan, perlu dibedakan dan dipisahkan antara anggaran jaminan sosial (social insurance) dengan anggaran subsidi yang kadung menjadi terminologi umum di negara kita. Anggaran subsidi seringkali tidak tepat sasaran dan terlalu umum dalam hal sasaran penerima. Sementara, anggaran jaminan sosial diperlukan untuk menanggulangi permasalahan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kesehatan dirinya yang diakibatkan oleh faktor usia, kesehatan, dan lain-lain.
Dalam struktur demografi penduduk, tidak semua warga negara mampu mencukupi kebutuhannya sendiri dikarenakan faktor disabilitas, usia, bencana, masalah sosial, dan lain-lain. Banyak orang yang tua dan tidak kuat untuk bekerja. Banyak orang yang karena keterbatasan fisiknya tidak mampu berpenghasilan. Lantas, siapakah yang memikirkan nasib mereka kalau bukan negara.
Untuk itulah, perlu dikaji bentuk dan pola belanja jaminan sosial yang tepat sehingga benar-benar sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Minimal, jaminan sosial itu meliputi pemenuhan kebutuhan pokok dan kesehatan. Program raskin dan BPJS yang digulirkan selama ini bisa menjadi embrio dan perlu disempurnakan dalam bentuk dan skemanya, khususnya terhadap sasaran penerima jaminan sosial.
Terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan Pemerintah untuk membangun sistem jaminan sosial :
Pertama, membakukan sistem tabungan pensiun seperti yang dilakukan pada pegawai negeri sipil kepada seluruh warga negara yang bekerja di sektor formal seperti karyawan swasta, konsultan, dll. Hal ini akan membantu warga negara disaat usia tua mereka memiliki tabungan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar.
Kedua, penyempurnaan sistem BPJS. Penyempurnaan pertama dilakukan pada lapisan warga negara berusia kerja yang perlu dipastikan memiliki BPJS. Kedua, Pemerintah perlu membantu setoran BPJS bagi warga negara yang memang sudah tidak mampu bekerja. Sediakan ruang fiskal untuk hal ini.
Ketiga, membuat terobosan sistem tabungan pensiun bagi pekerja sektor informal melalui penguatan paguyuban-paguyuban profesi informal ataupun koperasi pekerja informal.
Keempat, memperbaiki sistem pelayanan kesehatan yang baik, terutama mengenai record kesehatan setiap warga negara, lebih khususnya lagi bagi warga negara yang sudah tidak mampu lagi bekerja.
Kelima, membangun sistem persaudaraan sosial di setiap lingkungan masyarakat, khususnya lingkup RT, dengan membangun sistem donasi asuh dari orang yang mampu kepada warga negara yang benar-benar tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Semangat gotong royong yang digaungkan oleh Pemerintah seharusnya bisa dibuktikan dari sini.
Bila kita tidak menghormati dan merawat orang-orang tua dan lemah diantara kita, apa lagi yang bisa kita harapkan dari diri kita dan republik ini. Kita dan republik ini besar dan menjadi seperti sekarang karena jasa dan jerih payah orang-orang tua kita. Semoga, NKRI tetap menjadi negara yang tahu kepada siapa dia harus berbalas budi. Karena, disitulah keberkahan akan terlahir di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023