Suatu sore, saya kembali berkesempatan berbincang dengan Bapak saya yang seorang petani. Bagi saya, beliau tidak hanya pahlawan bagi nak-anaknya, tapi juga masuk dalam barisan pahlawan di negeri ini. Mungkin sebagian besar orang berpendapat terlalu berlebihan. Tapi bagi saya, semua petani di negeri ini adalah pahlawan bangsa masa kini, menyediakan pangan bagi seluruh rakyat negeri, meski dengan imbalan yang jauh dari harapan.
Obrolan sore itu kembali menyinggung tentang kondisi pertanian saat ini. Satu hal yang membuat saya kuatir, beliau menyampaikan bahwa hampir sebagian petani saat ini tidak lagi menanami sawah dan lahannya dengan komoditas pertanian, tapi mengalihkannya dengan tanaman kehutanan seperti sengon dan jabon. Kenapa? Karena harga jual pangan tidak lagi menarik dan bahkan jatuh secara tajam dalam setengah tahun terakhir. Meskipun panen bagus, namun tetap tidak menjanjikan.
Sontak keluhan Bapak ini mengingatkan pesan facebook yang masuk dalam inbox saya beberapa pekan lalu. Seorang petani Bondowoso menulis dalam pesannya yang kurang lebih begini. “Maunya Pemerintah sekarang apa Pak? Kok sepertinya mau bunuh petani pelan-pelan.” Jleb. Apakah sudah separah itukah yang dirasakan oleh saudara-saudara kita para pahlawan pangan ini?
Saya kembali mencoba merenung. Bagi kami yang pekerja di perkotaan, kesulitan hidup dalam 6 bulan terakhir memang sangat terasa sekali. Naiknya harga-harga barang publik seperti BBM, listrik, pajak, dan lain-lain. Juga tidak terkontrolnya dolar dan imbas kenaikan harga-harga kebutuhan lain. Saya masih berpikir bahwa di desa yang bisa dicukupi kebutuhan sehari-hari dengan hasil tanaman, ternyata kondisinya hampir sama, bahkan bisa jadi lebih sulit. Lantas, apa yang seharusnya dilakukan?
Revolusi Mental buat Petani
Kepemimpinan nasional yang baru memberikan harapan baru yang tinggi dengan konsep-konsep brilian dan beraninya. Salah satunya adalah konsep revolusi mental yang begitu terkenal itu. Merubah mental yang negatif menjadi mental yang positif karena memang selama ini banyak sikap kebiasaan ataupun mental kita masih didominasi oleh mental yang negatif. Dengan semangat ini, saya sangat mendukung dan setuju 200% dengan konsep tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya belum mendapat jawaban yang utuh dari konsep tersebut. Saya belum bisa menerjemahkan tentang revolusi mental itu. Tapi, ada satu pernyataan yang saya pernah baca bahwa salah satunya adalah merubah mental masyarakat yang selama ini manja dengan suapan subsidi dari Pemerintah menjadi masyarakat yang mandiri dan berdikari.
Tujuan yang sangat bagus. Very good. Tapi bukankah untuk menjadikannya mandiri perlu proses? Ibarat balita, agar dia bisa mandiri berjalan, perlu dilatih berjalan dengan cara memegang dan menuntunnya? Tidak serta merta melepas tanpa pegangan? Ah… otak saya pun kembali tak sampai menjangkau cara berpikir tingkat atas ini.
Bagi Bapak saya yang petani dan mungkin sekian banyak saudara petani kita lainnya, yang mereka perlukan bukan konsep. Yang mereka perlukan bukan revolusi mental. Karena faktanya, itu membuat mereka menjadi semakin menderita. Kenaikan harga beras yang tinggi Februari lalu contohnya. Kenaikan harga tinggi tidak turut mereka nikmati. Namun, begitu harga beras turun, merekalah pihak pertama yang harus menanggungnya. Termasuk, turunnya harga gabah akibat isu beras plastik akhir-akhir ini.
Petani Butuh Revolusi Tata Niaga Pangan
Jika mencermati cerita Bapak dan kawan petani diatas, yang paling dikeluhkan adalah masalah harga produk pertanian mereka. Di sisi lain, harga pangan di pasar tinggi, sementara di tingkat petani, harganya sangat rendah. Ada gap disana. Ada jurang yang sangat lebar disini. Jadi, petani butuh revolusi dalam tata niaga pangan, bukan revolusi mental. Revolusi mental nanti setelah tata niaga direvolusi.
Bagaimana agar tata niaga pangan menjadi peduli terhadap petani? Bagaimana dengan konsep revolusi tata niaga pangan itu? Menurut hemat penulis, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan Pemerintah :
Pertama, atur tata niaga seluruh komoditi pangan utama melalui kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP). Selama ini, hanya beras yang diatur tata niaganya melalui konsep HPP. Ke depan, pangan utama yang dihasilkan oleh sebagian besar petani di Indonesia harus diakomodir, antara lain beras, jagung, kedele, daging, telur, dan minyak.
Kedua, penentuan besarnya HPP harus menyesuaikan dengan harga riil pasar. Tidak seperti sekarang, di pasaran harga beras sudah Rp. 10 ribu, tapi di aturan HPP dipatok Rp. 7.400. Hal ini tidak faktual dan justru merugikan petani akibat Bulog tak dapat membeli gabah atau beras mereka dengan harga pasar.
Ketiga, jadikan Bulog kembali sebagai lembaga stabilisator harga pangan. Bulog tidak lagi sebagai BUMN yang diminta mendatangkan profit. Tapi Bulog harus sebagai lembaga kuat langsung dibawah Presiden yang mempunyai tugas utama stabilisator pangan. Pada saat harga pangan turun, mereka turun untuk membeli produk petani dengan harga yang jauh lebih baik. Di saat harga pangan di pasar melonjak naik, Bulog turun tangan melakukan operasi pasar.
Keempat, Pemerintah membuat sistem rantai pasok pangan (supply chain) yang lebih pendek dan dapat terkontrol. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan kapasitas gudang Bulog mampu menjadi market driven pangan nasional, sistem pembelian produk petani dengan harga yang menarik dijaminoleh Bulog, sistem logistik tersedia dengan baik, sistem dan rute distribusi pangan yang efektif, serta manajemen pasca panen dan industry pengolahan yang modern harus disediakan.
Saya yakin, Pemerintah dengan segala sumber dayanya mampu melakukan hal tersebut. Pertanyaannya, perlukah Pemerintah direvolusi mentalnya agar dapat mengambil langkah-langkah taktis tersebut. Jangan-jangan memang itu diperlukan. Sehingga, yang perlu direvolusi mental sebenarnya bukan petani, tapi justru Pemimpin dan Pemerintah lah yang perlu direvolusi mentalnya….
Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023