Awal tahun 2016 ini kita kembali dihadapkan pada paradoks sektor pangan. Kenapa paradoks? Seringkali angka-angka statistik di sektor pangan nasional kita menunjukkan keanehan kausalistik. Ketika Pemerintah menyatakan surplus beras, namun di sisi lain terjadi impor yang tidak sedikit. Ketika Pemerintah bicara anggaran sektor pangan naik 100 persen, namun pada faktanya angka kenaikan impor komoditas pangan strategis juga naik secara signifikan. Lantas, dimana letak kesalahannya?

Seperti tekad di awal Pemerintahannya, Jokowi-JK menargetkan swasembada pangan pada tahun 2017. Tiga komoditas pangan yang ditargetkan bisa swasembada adalah padi, jagung, dan kedelai atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah pajale. Sejumlah upaya pun dilakukan oleh Pemerintah. Beberapa keseriusan Pemerintah dalam tekad swasembada ini bisa dilihat dari kebijakan politik anggaran dan refocusing program kepada infrastruktur pertanian. Anggaran untuk Kementerian Pertanian ditingkatkan hingga Rp 32 triliun, naik lebih dari 100%‎ dibanding era pemerintahan sebelumnya.

Kementan pun menggeber program swasembada pajale ini dengan program Upsus (upaya khusus) di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dan rilis BPS pada ARAM I tahun 2015 kemarin menunjukkan hasil yang menggembirakan, yaitu dengan adanya surplus beras hingga 10,75 juta ton. Namun, data BPS ini bertentangan 180 derajat dengan data impor beras, jagung, dan kedelai di tahun yang sama.

Nilai tonase impor beras, jagung, dan kedelai pada 2015 justru meningkat sampai 1,5 juta ton. Pada 2014 lalu, Bulog hanya membutuhkan impor 300.000 ton beras medium untuk memperkuat stoknya, tahun 2015 dibutuhkan impor 1,5 juta ton beras medium. Impor jagung yang diperketat oleh Kementan pada Agustus 2015 lalu juga malah melonjak dari 2,580 juta ton di 2014 menjadi 2,727 juta ton. Sedangkan impor kedelai naik dari 1,926 juta ton menjadi 1,964 juta ton (detikfinance, 19/01/15). Angka ini juga jauh lebih tinggi dibanding angka impor di era pemerintahan sebelumnya.  Berkerutkah kening Anda melihat angka-angka diatas?

Revolusi Kebijakan Pangan

Permasalahan angka-angka yang muncul diatas  seringkali terjadi dan berulangkali terjadi. Hal semacam ini perlu diputus mata rantai masalahnya. Ibaratnya, jangan sampai setiap Pemerintahan hanya menyelesaikan ujung masalah, sementara akarnya belum terselesaikan sehingga akan menghasilkan masalah-masalah berkesinambungan di kemudian hari.

Inti dari permasalahan yang mengemuka, menurut hemat penulis, terletak pada tiga hal dan harus dibuat solusi untuk tiga hal tersebut.

Pertama, permasalahan akurasi data. Selama ini ada kecenderungan bahwa data produksi mesti ada kenaikan secara linier dari tahun ke tahun. Ada kesan bahwa, sangat tabu ketika produksi turun secara absolut. Di sisi lain, asumsi konsumsi juga sedemikian tinggi dan kurang sesuai fakta di lapangan. Namun, meskipun dari keduanya ada surplus, toh pada kenyataannya angka impor tetap tinggi. Why? Surplus produksi tapi impor sangat tinggi. Untuk itu, harus ada keberanian untuk kembali mengkalibrasi data pangan nasional. Meskipun pahit, ini adalah obat mujarab agar kesimpangsiuran dan paradoksial data pangan tidak terjadi lagi di masa depan.

Kedua, kebijakan politik pangan. Hal ini dapat dilihat pada struktur kelembagaan sektor pangan dan kewenangan yang dimilikinya. Saat ini, sektor pangan menjadi tanggung jawab utama Kementerian Pertanian. Namun, jika dilihat dari sisi kewenangan, Kementan hanya bertanggung jawab pada lini budidaya. Supporting sistem berupa industri sarana pertanian maupun industry pasca panen pengolahan dan juga sektor tata niaga pangan tidak dimiliki oleh Kementan.

Untuk itu, diperlukan kelembagaan pangan dalam bentuk Kementerian Pangan ataupun Kementerian Koordinator Pangan. Lembaga ini memiliki kontrol dan kewenangan pangan dari hulu sampai hilir. Hal ini akan mengatasi permasalahan lemahnya koordinasi lintas kementerian dalam masalah pangan. Harus ada revolusi yang berani dalam kelembagaan pangan nasional. Menggesa produksi petani dalam negeri, tapi juga harus diikuti kebijakan memperketat impor dari luar negeri. Sejalan, se visi, dan seirama.

Ketiga, pembenahan tata niaga pangan. Pelaku impor komoditas pangan utama yang hanya dikuasai segelintir kekuatan ekonomi tertentu harus dirombak. Pemerintah dengan segala instrument kebijakan, instrumen sumber daya ekonomi,  maupun instrument kekuatan yang lainnya mesti berani benahi tata niaga pangan ini secara lugas dan tuntas. Sistem perdagangan sektor pangan harus dibuat sehat. Tidak ada monopoli ataupun oligopoly. Kalaupun ada monopoli harusnya ada di tangan Pemerintah, semisal Bulog.

Bagaimanapun, ketiga langkah diatas membutuhkan keberanian yang tinggi. Juga kemauan yang sangat kuat. Karena ini sifatnya revolusi. Dan hanya orang-orang kuat dan berani saja yang sanggup menjadi seorang revolusioner. Akankah itu bisa dibuktikan oleh Jokowi-JK? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Temukan informasi histori tulisan dari Mas Atang Trisnanto pada menu Arsip 2015 – 2023